STUDI
PERAN KEPALA SEKOLAH DAN KOMITE
SEKOLAH
Dengan adanya
desentralisasi manajemen pendidikan dan manajemen berbasis
sekolah (MBS) peran kepala sekolah mulai berubah. Apalagi komite
sekolah
mulai berperan penting dalam pengelolaan sekolah. Konsultan kami
Elizabeth
Sweeting, Muhlisoh, Furaidah, dan Supriyono Koes dibantu teman-teman
konsultan
lainnya telah membuat studi tentang peran kepala sekolah dan komite
sekolah,
khususnya di sekolah yang sudah melaksanakan MBS dengan berhasil di
daerah
binaan MBE dan CLCC. Tujuannya adalah untuk menemukan kunci
keberhasilan
sekolah tersebut agar disebarluaskan ke sekolah-sekolah lain.
Rangkuman
kesimpulan studi tersebut dapat dibaca di bawah ini. Studi lengkap
dapat
dibaca di website kami mbeproject.net.
|
Studi
1: Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah mempunyai dua peran utama, pertama sebagai pemimpin institusi bagi para guru, dan kedua memberikan pimpinan dalam manajemen. Pembaharuan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) dan komite sekolah yang diperkenalkan sebagai bagian dari desentralisasi memberikan kepada kepala sekolah kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan dengan lebih mantap berbagai fungsi dari kedua peran tsb.
Banyak kepala
sekolah yang dikunjungi selama studi, telah memanfaatkan
kesempatan yang diberikan oleh SBM untuk menyesuaikan kinerjanya agar
memenuhi situasi baru di sekolah dan di masyarakat, dan menerapkan
perubahan-perubahan.
Mereka menyadari bahwa mereka harus lebih menjadi kolega dari pada atasan dari para guru dan bekerjasama lebih erat dengan para guru dan masyarakat dalam menangani permasalah-permasalah pendidikan. Kerjasama penanganan masalah ini termasuk tugas pengelolaan penting, seperti: supervisi kelas untuk mendorong dan mendukung pelaksanaan PAKEM, memimpin pertemuan informal dengan para guru, untuk menstimulasi, berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai inovasi, menghargai dan mendukung hasil kerja dari komite sekolah untuk sekolah
Beberapa
perubahan kinerja kepala sekolah yang dilaporkan termasuk: (i)
manajemen terbuka-menjadi transparan, akuntabel, dan melibatkan banyak
pihak
dalam perencanaan, keuangan dan pengembangan program sekolah bersama
sama
dengan para guru dan masyarakat; (ii) menciptakan dan mengelola
suasana
belajar yang ramah dan positif di sekolah; (iii) terbuka dan mendukung
inovasi.
Di lain pihak, kepala sekolah lebih enggan dalam hal-hal lain, seperti mendelegasikan tanggung jawab pelaksanaan program sekolah kepada yang lain, mengunjungi dan memonitor guru kelas, atau memimpin rapat formal dengan komite dan orang tua murid lebih sering dari kebiasaan selama ini, yakni sebulan sekali, atau satu semester sekali. |
Beberapa kepala
sekolah yang lebih
berani, berada dalam tahap di mana mereka dan beberapa guru gurunya
dapat
mengembangkan inovasi mereka sendiri, sehingga menyebabkan guru dari
sekolah
lain beramai-ramai mengunjungi sekolah tsb dalam usaha mereka mencari
gagasan
gagasan baru. Kepala sekolah yang lebih progresif ini juga menggunakan
berbagai strategi yang juga merupakan suatu inovasi untuk mendorong
agar guru
berinovasi, dan menularkan inovasi mereka ke guru lain di sekolah tsb.
Selain
menemukan dana yang terbatas
sebagai kendala untuk meningkatkan praktik, beberapa kepala sekolah,
dengan
bijak menemukan kebutuhan mereka sendiri untuk melakukan peningkatan
diri.
Lebih lanjut,
kepala sekolah yang lebih
terbuka mengakui bahwa para guru mereka juga mengalami kendala untuk
mengubah
perilaku/kinerjanya di kelas daripada mengatakan bahwa guru mereka
tidak
responsif, melakukan usaha usaha positif, untuk membantu guru
mengatasi
ketakutan mereka.Kekhawatiran utama para kepala sekolah dan guru
adalah belum
tahu dampak penggunaan pendekatan PAKEM pada kinerja siswa Ujian Akhir
Sekolah.
Sebagai simpulan, kepala sekolah nampak lebih nyaman melakukan peran pimpinan manajemen dari pada pimpinan pembelajaran. Beberapa kepala sekolah mempunyai persepsi mereka sendiri mengenai perannya lebih terfokus pada pimpinan institusi dan menganggap bahwa "mengajar adalah urusan guru". Para guru dan anggota komite melihat peran kepala sekolah dalam hubungan dengan peran mereka sendiri di dalam sekolah. Dalam hal ini, para guru menfokuskan kebutuhan mereka untuk dipenuhi oleh kepala sekolah untuk tugas kelas mereka. Sejalan dengan itu, anggota komite membuat daftar fungsi-fungsi itu sebagai bagian dari peran kepala sekolah dalam pertemuan komite, yakni: fasilitator, motivator, advisor, inisiator , mediator, dan partner. |
Begitu Mama dan Totto masuk, seorang
pria yang berada di dalam ruang
itu berdiri dari kursinya. Orang itu rambutnya sudah menipis, gigi
depannya sudah ompong tetapi raut mukanya ramah. Meskipun tingginya
tidak seberapa, bahu dan lengannya kekar. Ia mengenakan baju berwarna
gelap namun kesannya rapi.
Totto segera menyalaminya dan
dengan riang bertanya, “Bapak, kepala
sekolah atau pegawai stasiun?”
Mama terburu-buru mencoba
menjelaskan. Tetapi sebelum ia sempat
mengucapkan sesuatu, orang itu sudah mendahului menjawab sambil
tertawa, “Bapak adalah kepala sekolah.” Totto menyahut dengan nada
gembira, “Wah untung! Kalau begitu saya
mau minta. Saya ingin masuk sekolah ini.” Kepala sekolah mempersilakan
Totto duduk. Lalu berpaling kepada Mama
dan berkata, “Saya perlu bicara dengan Totto. Jadi Ibu boleh pulang.”
Sebentar saja Totto merasa cemas ditinggal sendirian. Tetapi entah
mengapa, segera saja ia merasa aman dan betah bersama Pak Kepala
Sekolah ini. Dengan sikap rela Mama berkata, “Kalau begitu, saya
titipkan anak saya. Terima kasih,” lalu keluar menutup pintu. Pak Kepala
Sekolah menarik kursinya ke dekat Totto. Setelah duduk
berhadapan ia berkata, “Ayo, coba ceritakan apa saja kepada Bapak.
Semua, apa saja, yang ingin kau ceritakan kepada Bapak. Pokoknya,
boleh bicara apa saja.” Semula, Totto menduga harus menjawab apa yang
ditanyakan Pak Kepala
Sekolah. Tapi setelah mendengar kalau ia boleh bercerita apa saja, ia
menjadi amat gembira dan mulai bercerita. Urutan kejadian serta
caranya berbicara kacau, tetapi ia bercerita dengan sungguh-sungguh.
Ia bercerita tentang bagaimana cepatnya kereta api yang baru saja
dinaiki. Tentang bagaimana ia tidak diberi karcis meskipun sudah
memintanya. Mengenai bu guru, wali kelasnya dulu yang cantik. Sarang
burung layang-layang di sekolahnya dulu. Di rumahnya ada anjing
coklat bernama Rocky yang kalau diperintah bisa berjabat tangan,
memberi salam dan merasa puas setelah diberi makan. Masa sekolah di
taman kanak-kanak dulu ketika ia suka main gunting. Caranya
memasukkan dan memainkan gunting di dalam mulutnya meskipun guru
melarangnya dan kemudian mengambil gunting itu. Lalu tentang
bagaimana Mama marah kalau ia mengisap-isap ingus yang keluar hidung
sehingga ia harus cepat-cepat membersihkannya. Tentang Papa yang
pandai berenang di laut dan dapat melompat terjun ke laut. Totto
menceritakan itu semua satu per satu. Pak Kepala Sekolah
mendengarkan sambil tertawa, mengangguk atau mendesak Totto untuk
melanjutkan ceritanya dengan berkata, “Terus bagaimana?” Hal itu membuat
Totto senang dan ia berbicara terus. Tapi akhirnya ia
kehabisan cerita. Karena Totto agak lama diam dan berpikir, Kepala
Sekolah bertanya, “Sudah tidak ada lagi?” Totto merasa benar-benar
kehabisan cerita. Ia agak sedih. Pada waktu
merasa sedih itulah Kepala Sekolah berdiri dan meletakkan tangannya
yang besar dan hangat di atas kepala Totto. “Kalau begitu, sekarang
kau boleh menjadi murid sekolah ini.” Pada saat itu, rasanya Totto baru
pertama kali dalam seumur hidupnya
bertemu dengan orang yang menyenangkan seperti ini. Sejak lahir
sampai hari ini, belum pernah ada orang yang mau mendengarkan
ceritanya dalam waktu begitu lama. Lagipula, selama waktu yang begitu
lama itu, Pak Kepala Sekolah tidak pernah menguap atau memperlihatkan
sikap bosan. Ia asyik dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan cerita
Totto sambil mendekatkan badannya. Pada waktu itu, Totto belum bisa
membaca jarum jam. Tetapi ia bisa merasakan lamanya waktu bercerita.
Kalau saja bisa melihat jam, ia pasti akan terkejut dan lebih
berterima kasih lagi. Sebabnya, Totto dan Mama tiba di Sekolah pukul
8, dan waktu Totto selesai bercerita serta diputuskan bisa diterima
sebagai murid di sekolah ini, Pak Kepala Sekolah melihat jam saku dan
berkata, “Oh, sudah waktunya makan siang.” Jadi, Kepala Sekolah telah
mendengarkan cerita Totto selama empat jam
penuh. Belum pernah ada dan [kemudian] tidak pernah ada orang dewasa
yang mau mendengarkan cerita Totto dengan sesungguh hati kecuali
kepala sekolah ini. Selain itu, kalau Mama dan guru di sekolah dulu
tahu, pasti mereka akan terkejut mendengar Totto yang baru kelas satu
[SD] ini mempunyai begitu banyak cerita yang memerlukan empat jam
untuk diceritakannya sendiri.
Pada waktu itu Totto belum
menyadari perihal ia dikeluarkan dari
sekolah [yang dulu] karena selalu merepotkan dan menyusahkan orang-
orang dewasa di sekitarnya. Selain itu, karena dari dulu sifatnnya
periang dan pelupa, Totto kelihatan seperti anak yang polos. Tetapi
di dalam hati kecilnya, samar-samar ia dapat merasakan dirinya agak
dikucilkan atau berbeda dengan anak-anak lain [di sekolahnya yang
dulu]. Tetapi bersama kepala sekolah ini, ia merasa aman, hangat, dan
menyenangkan…
MEMPERCAYAI
Hari ini ia [Totto] pergi ke WC
[Sekolah] sebelum mulai pelajaran dan
secara tidak sadar ia telah melihat ke bawah. Pada saat itu, mungkin
karena cara menyimpannya tidak tepat, dompet kesayangannya jatuh ke
bawah. Totto menjerit. “Aah…!!” Tetapi dompet itu telah hilang di lubang gelap di bawah. Namun apa yang dilakukannya kemudian? Totto tidak menangis dan juga tidak putus asa. Ia berlari pergi ke gudang milik Pesuruh [Sekolah] lalu mengambil sebuah gayung yang panjang gagangnya hampir dua kali panjang badan Totto dan membawanya ke WC. Totto pergi ke belakang gedung sekolah dan di sana ia mencari gorong-
gorong tempat pengambilan tinja WC itu. Mula-mula ia berpikir tempat itu ada di luar tembok WC, tetapi ternyata tidak ditemukan. Setelah mencari-cari, akhirnya ia menemukan sebuah tutup semen bundar di atas
tanah, kira-kira satu meter dari tembok tersebut. Ia menerka itulah tempat pengambilan tinja yang dicarinya!
bawah. Totto menjerit. “Aah…!!” Tetapi dompet itu telah hilang di lubang gelap di bawah. Namun apa yang dilakukannya kemudian? Totto tidak menangis dan juga tidak putus asa. Ia berlari pergi ke gudang milik Pesuruh [Sekolah] lalu mengambil sebuah gayung yang panjang gagangnya hampir dua kali panjang badan Totto dan membawanya ke WC. Totto pergi ke belakang gedung sekolah dan di sana ia mencari gorong-
gorong tempat pengambilan tinja WC itu. Mula-mula ia berpikir tempat itu ada di luar tembok WC, tetapi ternyata tidak ditemukan. Setelah mencari-cari, akhirnya ia menemukan sebuah tutup semen bundar di atas
tanah, kira-kira satu meter dari tembok tersebut. Ia menerka itulah tempat pengambilan tinja yang dicarinya!
Selanjutnya Totto memulai
pekerjaan besar, memasukkan gayung ke dalam
dan menimba isinya. … Tentu saja setiap kali menimba ia memeriksa
isinya kalau-kalau ada dompet tersangkut. Ia memperkirakan akan
segera dapat menemukannya kembali. Tetapi entah hilang ke mana dompet itu karena tidak kunjung ditemukan di dalam gayung. Sementara itu, bel tanda pelajaran dimulai sudah terdengar. … Namun akhirnya ia memutuskan meneruskan pekerjaan itu karena ia berpikir, “Tanggung!
Aku sudah terlanjur melakukannya sampai sini.” Sebagai gantinya, ia menimba lebih giat lagi. Setelah gunungan menumpuk, Kepala Sekolah kebetulan lewat di jalan belakang WC itu. Ketika melihat apa yang
dilakukan Totto, ia heran. “Kau sedang apa di sini nak?”
segera dapat menemukannya kembali. Tetapi entah hilang ke mana dompet itu karena tidak kunjung ditemukan di dalam gayung. Sementara itu, bel tanda pelajaran dimulai sudah terdengar. … Namun akhirnya ia memutuskan meneruskan pekerjaan itu karena ia berpikir, “Tanggung!
Aku sudah terlanjur melakukannya sampai sini.” Sebagai gantinya, ia menimba lebih giat lagi. Setelah gunungan menumpuk, Kepala Sekolah kebetulan lewat di jalan belakang WC itu. Ketika melihat apa yang
dilakukan Totto, ia heran. “Kau sedang apa di sini nak?”
Totto menjawab sambil terus
mengayunkan gayung karena ia sayang waktu
kalau harus berhenti bekerja.
“Dompet saya terjatuh Pak.”
“Oh, begitu.” Setelah berkata
demikian, Kepala Sekolah terus
meninggalkannya pergi dan berjalan sambil menyimpan tangan di
belakang tubuh seperti yang biasa dilakukannya pada waktu jalan-jalan.
Beberapa waktu kemudian, dompetnya
belum juga ditemukan, sedangkan
tumpukan itu terus menggunung. Lalu Kepala Sekolah lewat lagi dan
bertanya, “Sudah ketemu?”
Totto yang bermandi keringat
dengan pipi yang menumpuk
berkata, “Tidak ada.”
Kepala Sekolah mendekatkan
wajahnya ke wajah Totto, lalu berkata
dengan nada suara seperti seorang teman, “Nanti kalau sudah selesai,
kembalikan semua itu ke tempatnya ya?” dan pergi berjalan entah ke
mana seperti tadi.
mana seperti tadi.
Totto menjawab “Ya,” dengan
bersemangat dan mulai bekerja
kembali. … Namun sampai saat terakhir, dompet yang dicari belum
juga ditemukan. Mungkin karena dompet itu melekat di dinding atau
dasar kolam. Walaupun tanpa hasil, Totto merasa cukup puas, karena
telah mencoba melakukan pekerjaan yang begitu berat dengan tenaga
sendiri. Tetapi sebetulnya dalam kepuasan Totto masih ada unsur lain.
Kepala Sekolah tidak marah melihat perbuatannya, tetapi mempercayai dan memperlakukannya sebagai seseorang yang memiliki kepribadian.
Kepala Sekolah tidak marah melihat perbuatannya, tetapi mempercayai dan memperlakukannya sebagai seseorang yang memiliki kepribadian.
Biasanya orang dewasa yang
mendapatkan Totto sedang mengerjakan hal
semacam itu pasti akan berkata … “awas, hentikan itu!” Mungkin juga
ada yang menawarkan diri “Mau nggak kalau dibantu Bapak?” Tetapi
Kepala Sekolah hanya berkata, “Nanti kembalikan lagi ke tempatnya,
ya?”
Sesuai dengan janjinya terhadap
Kepala Sekolah, Totto meratakan
tumpukan itu dengan mengembalikannya ke WC yang semula, meratakan
tanahnya, meletakkan tutup dari semen dengan rapi dan terakhir
mengembalikan gayung itu ke gudang.
MENDORONG BICARA
Kepala Sekolah pernah berharap,
“Kalian harus lebih pandai bercerita.
Bagaimana kalau pada setiap jam makan siang secara bergilir seorang
di antara kalian menceritakan sesuatu di tengah lingkaran?”
Setiap anak berpikir “Saya tidak
pandai bercerita, tapi senang
mendengarkan cerita orang lain” atau “wah, saya suka sekali bercerita
kepada teman-teman”. Totto sendiri berpikir, “Aku belum tahu cerita
apa yang akan kusampaikan, tapi aku akan mencobanya.” Dengan demikian,
karena rata-rata semua murid menyetujui gagasan
Kepala Sekolah, sejak esok harinya dimulai acara bercerita. Di Jepang
biasanya di rumah anak-anak selalu diajar, “Waktu makan
tidak boleh bicara.” Tapi berdasarkan pengalaman Kepala Sekolah
sendiri sewaktu hidup di luar negeri, sudah lama ia
berpendapat, “Acara makan sedapat-dapatnya harus menyenangkan. Karena
itu, pada waktu makan siang jangan tergesa-gesa. Tetapi makan pelan-
pelan, bahkan boleh makan sambil berbicara macam-macam.” Selain itu, ia juga berpendapat, “Bagi anak-anak, mulai sekarang diperlukan kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri secara jelas dan bebas tanpa rasa malu-malu.” Jadi diputuskan sudah saatnya dimulai acara seperti itu.
pelan, bahkan boleh makan sambil berbicara macam-macam.” Selain itu, ia juga berpendapat, “Bagi anak-anak, mulai sekarang diperlukan kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri secara jelas dan bebas tanpa rasa malu-malu.” Jadi diputuskan sudah saatnya dimulai acara seperti itu.
“Ingat, ya! Tidak usah berpikir
harus bercerita dengan pandai.
Ceritanya pun terserah semau kalian saja. Apa saja boleh. Pokoknya
kita akan mencobanya.” Tetapi berbeda dengan bercerita di dalam kelompok
kecil sekitar 3
orang pada jam istirahat, berbicara di tengah seluruh murid sekolah
sebanyak 50 orang memerlukan suatu keberanian tersendiri dan
merupakan hal yang sulit. Pada permulaan acara ini ada anak yang malu
dan hanya tertawa “Ihi-ihi-ihi-ihi” atau ada pula anak yang telah
menyiapkan cerita dengan sungguh-sungguh, tapi setelah berada di
depan murid-murid lain tiba-tiba lupa ceritanya dan hanya beberapa
kali mengulangi kata “Kodok yang melompat ke samping” yang agaknya
judul cerita itu. Dan akhirnya berkata, “Setelah hujan turun,
selesai” lalu memberi salam dengan menundukkan kepala dan kembali ke
kursi.
Dengan demikian berangsur-angsur
terbentuk kebiasaan berbicara di
depan secara bergilir setiap hari. Pada suatu hari seorang anak yang
mendapat giliran bersikeras untuk tidak bicara. Anak laki-laki itu
berkata, “Saya tak punya cerita apa-apa!” Totto sangat terkejut ada anak
yang tidak mempunyai cerita. Namun
bagaimanapun juga anak itu tidak mempunyainya. Kepala Sekolah datang
ke depan meja anak tersebut yang di atasnya terletak tempat bekal
makan anak itu yang ternyata kosong. “Kau tidak punya cerita?”
“Ya, saya tidak punya cerita
apa-apa!”, demikian kata anak itu.
Rupanya ia sama sekali bukan melawan atau menentang, tetapi betul-
betul tidak punya cerita.
“Ha-ha-ha-ha,” Kepala Sekolah
tertawa tanpa menghiraukan giginya yang
ompong.
“Kalau begitu, kita bikin saja!”
“Bikin?” Anak itu terkejut.
Kepala Sekolah kemudian
menyuruhnya berdiri di tengah lingkaran anak-
anak yang sedang duduk dan dia sendiri duduk di kursi anak itu.
“Coba ingat kembali
kejadian-kejadian sejak kau bangun tidur tadi
pagi sampai tiba di sekolah. Pertama kau lakukan apa?”
Anak laki-laki itu sambil
menggaruk-garuk kepalanya mulai
bersuara “Eeeh.”
Lantas Kepala Sekolah menyambung
“Lihat, kau sudah berkata ‘Eeeh.’
Telah ada ceritanya, kan? Setelah ‘Eeeh’ terus bagaimana?”
Telah ada ceritanya, kan? Setelah ‘Eeeh’ terus bagaimana?”
Sambil menggaruk kepalanya lagi
anak itu menyahut “Eeh, saya bangun
pada pagi hari.”
Totto dan murid-murid lainnya
ingin tertawa, tapi mereka tetap
memperhatikannya. Kemudian anak itu berkata, “Laluuu…” dan
menggaruk kepalanya lagi. Kepala Sekolah sejak tadi terus menatap
sikap anak itu sambil tersenyum dengan melipatkan tangan di atas meja.
“Boleh, itu sudah baik.
Teman-teman sudah bisa mengetahui bahwa kau
bangun tidur tadi pagi. Yang penting, kau tadi berkata, ‘Tidak punya
cerita,’ tetapi sekarang sudah mendapatkan cerita.”
Lantas anak itu berkata dengan
suara yang sangat lantang, “Laluuu…”
Teman-teman semuanya memajukan badan. Anak itu menghirup udara dalam- dalam, dan berkata, “Laluuu, ibuku menyuruh menggosok gigi. Jadi aku menggosok gigi.”
Teman-teman semuanya memajukan badan. Anak itu menghirup udara dalam- dalam, dan berkata, “Laluuu, ibuku menyuruh menggosok gigi. Jadi aku menggosok gigi.”
Kepala Sekolah bertepuk tangan.
Murid lain segera mengikutinya.
Setelah itu ia berkata dengan suara yang lebih keras, “Laluuu…”
Semuanya berhenti bertepuk tangan, menajamkan pendengaran dan lebih memajukan badan lagi. Muka anak itu seolah bangga dan dia berkata, “Lalu saya datang ke sekolah!”
Semuanya berhenti bertepuk tangan, menajamkan pendengaran dan lebih memajukan badan lagi. Muka anak itu seolah bangga dan dia berkata, “Lalu saya datang ke sekolah!”
Di antara murid kelas atas yang
memajukan badan ada yang terperosok
dan kepalanya terbentur pada tempat bekal makan. Tapi semua orang
menjadi sangat gembira, “anak itu bisa bercerita!”
Kepala Sekolah bertepuk tangan
keras-keras. Totto dan kawan-kawan
bertepuk tangan riuh. Anak itu pun bersama-sama bertepuk tangan. Aula
penuh dengan tepuk tangan. Barangkali sampai anak tersebut dewasa ia
tidak akan bisa melupakan tepuk tangan itu.
Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
KOMPETENSI GURU DAN PERAN
KEPALA SEKOLAH
Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan nasional, pemerintah khususnya
melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan
dan
pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan
sedang
dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang
No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan
pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan
memperbaiki
mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan
Djihad
Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what
teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perubahan
dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what
teachers do
and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan
kompetensi
guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang
realita kompetensi guru saat ini agaknya
masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri
krisis
pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work
performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru
belum
sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai,
oleh
karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan
kompetensi
guru.
Tulisan ini akan memaparkan
tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana
upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala
sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai
bahan
refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan
dengan
pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan
kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan
bahwa “competency has been defined in the light of actual
circumstances
relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning
Agency
sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A
competence
is a description of something which a person who works in a given
occupational
area should be able to do. It is a description of an action, behaviour
or
outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita
dapat menarik benang merah bahwa kompetensi
pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan (be
able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan,
perilaku dan
hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able
to do) sesuatu dalam pekerjaannya,
tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam
bentuk pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill)
yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi
di atas, maka dalam hal ini kompetensi
guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan
seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan,
berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana
dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam
(2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
- Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
- Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
- Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif
kebijakan pendidikan nasional, pemerintah
telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional
Pendidikan, yaitu :
- Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
- Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
- Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
- Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National
Board for Profesional Teaching Skill
(2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang
menjadi
dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What
Teachers
Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima
proposisi utama, yaitu:
- Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
- Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
- Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
- Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
- Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat
di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya.
Isi
rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut
Raka Joni
sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak
mengenal
adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan
tentang
aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan
global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan
proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi
satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi
dan
pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di
jagat
raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai
di
tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola
penyebaran
informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional.
Kalau hal
ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua
maupun
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru
perlu
berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan
pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan
harus paham penelitian guna mendukung terhadap
efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan
hasil
penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut
asumsi
mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas
para
siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari
tahun ke
tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam
Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat
berjalan efektif dan efisien, guru dituntut
memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya.
Namun,
jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari
setiap jenis
kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam
perspektif
kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan
sesuatu
yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru
diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melalui optimalisasi peran
kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan
bahwa “
kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja
personel,
terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi
bahwa
yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya
berkaitan
dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi
kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan
pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat
tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator
(pendidik); (2)
manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader
(pemimpin);
(6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala
sekolah sebagaimana disampaikan oleh
Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan
antara
peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat
mewujudkan peran-peran di atas, secara
langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan
kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap
peningkatan
mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Sumber Bacaan :
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Depdiknas. 2006. Standar
Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK
& SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya
———–. 2006. Peraturan Pemerintah
No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/
inlink.
(accessed 9 Feb 2003).
Louise Moqvist. 2003. The
Competency Dimension of Leadership: Findings from a
Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public
Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and
Organisation,
Linköping University.
Mary E.Dilworth & David G.
Imig. Professional Teacher Development and
the Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).
National Board for Professional
Teaching Standards. 2002 . Five Core
Propositions. NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi
Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000.
Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
Kepala Sekolah Profesional
google ads
Kepala sekolah yang profesional diperlukan
persyaratan-persyaratan
khusus. Sanusi dkk. (1991) (Danim, 2002) mengemukakan beberapa kemampuan
profesinal yang harus ditunjukkan oleh kepala sekolah, yaitu:
(a) kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran murid; (b) kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini; (c) kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi; (c) kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik dan educational, arti yang mereka sumbangkan kepada unit, untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.
Persyaratan profesi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah seperti disebutkan di atas, juga harus mampu mengakomodasikan tiga jenis keterampilan yang baik secara per jenis maupun terintegrasi tercermin dalam keseluruhan mekanisme kerja administrasi sekolah sebagai proses sosial. Tiga keterampilan tersebut menurut Katz (1995) seperti dikutip oleh Sergiovanni dkk. (1987) meliputi: (1) keterampilan teknis (technical skill); (2) keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill); (3) keterampilan konseptual (conceptual skill).
Kemampuan profesional kepala sekolah tingkat pendidikan dasar pada akhirnya sangat ditentukan kapasitasnya melakukan tugas-tugas administratif dengan proses kerja menurut prosedur administrasi yang benar. Inti kerja kepala sekolah adalah mengelola tugas-tugas administratif melalui proses yang tepat sehingga tugas-tugas tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Barnard, 1978). Efektivitas menurut Barnard (1978) mengacu pada hasil kerja yang diperoleh sedangkan efisien mengacu pada proses kerja untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Tugas-tugas operatif administrasi pendidikan di sekolah dapat dipilah menjadi area tugas kritis. Southern States Cooperative Program in Educational Administration, seperti dikutuip oleh Kimbrought & Nunnery (1983) dan Sergiovanni dkk. (1978) mengemukakan area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah sebagai berikut:
A comprehensive study of the task areas of educational administration was completed as a part of the W.K. Kellog-sponsored Southern States Cooperative Program in educational administration. The critical task areas included in this taxonomy were as follows: (1) instructions and curriculum development; (2) pupil personel; (3) comunity-school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school transportation; (7) organization and structure, and (8) school finance and business management.
Kepala sekolah lebih cenderung bekerja atas dasar juklak dan juknis yang mereka terima dari kantor pusat di Jakarta atau di kantor wilayah/dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi daripada atas dari keputusan mereka sendiri. Kepala sekolah harus kompeten dalam menjalankan tugas teknis manajerial, yang menurut Mintzberg (1973) terdiri atas tiga kategori yaitu: (1) interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin dan juru runding; (2) informational yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara; (3) decisional yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-handler, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.
Tugas-tugas yang diemban oleh kepala sekolah menuntutnya untuk memiliki keterampilan pada taraf tinggi dalam bidang konsep keadministrasian, kemampuan melakukan hubungan manusiawi dengan staf secara perseorangan dan kelompok serta dengan masyarakat, serta keterampilan teknis untuk menyelenggarakan tugas-tugas intruksional dan non-intruksional di sekolah. Pemahaman kepala sekolah mengenai proses kerja ini diperlukan menigngat substansi tugas atau area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah tidak mungkin dapat dijalankan secara efektif dan efisien, tanpa melalui prosedur yang benar dan pemerintah potensi yang benar pula.
Kemampuan dan keterampilan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dipandang belum memadai bagi terwujudnya maksud-maksud di atas sehingga pendidikan khusus ke kepala sekolahan bagi calon/kepala sekolah tingkat pendidikan dasar, seperti diamanatkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008, tampaknya perlu segera ditindaklajuti atau dioperasoinalisasikan di tingkat wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kepala sekolah dalam melaksanakan manajemen pendidikan di sekolah selayaknya minimal melaksanakan empat fungsi manajemen, baik dalam manajemen kurikulum, ketenagaan, kesiswaan, sarana prasarana maupun lainnya.
(a) kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran murid; (b) kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini; (c) kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi; (c) kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik dan educational, arti yang mereka sumbangkan kepada unit, untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.
Persyaratan profesi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah seperti disebutkan di atas, juga harus mampu mengakomodasikan tiga jenis keterampilan yang baik secara per jenis maupun terintegrasi tercermin dalam keseluruhan mekanisme kerja administrasi sekolah sebagai proses sosial. Tiga keterampilan tersebut menurut Katz (1995) seperti dikutip oleh Sergiovanni dkk. (1987) meliputi: (1) keterampilan teknis (technical skill); (2) keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill); (3) keterampilan konseptual (conceptual skill).
Kemampuan profesional kepala sekolah tingkat pendidikan dasar pada akhirnya sangat ditentukan kapasitasnya melakukan tugas-tugas administratif dengan proses kerja menurut prosedur administrasi yang benar. Inti kerja kepala sekolah adalah mengelola tugas-tugas administratif melalui proses yang tepat sehingga tugas-tugas tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Barnard, 1978). Efektivitas menurut Barnard (1978) mengacu pada hasil kerja yang diperoleh sedangkan efisien mengacu pada proses kerja untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Tugas-tugas operatif administrasi pendidikan di sekolah dapat dipilah menjadi area tugas kritis. Southern States Cooperative Program in Educational Administration, seperti dikutuip oleh Kimbrought & Nunnery (1983) dan Sergiovanni dkk. (1978) mengemukakan area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah sebagai berikut:
A comprehensive study of the task areas of educational administration was completed as a part of the W.K. Kellog-sponsored Southern States Cooperative Program in educational administration. The critical task areas included in this taxonomy were as follows: (1) instructions and curriculum development; (2) pupil personel; (3) comunity-school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school transportation; (7) organization and structure, and (8) school finance and business management.
Kepala sekolah lebih cenderung bekerja atas dasar juklak dan juknis yang mereka terima dari kantor pusat di Jakarta atau di kantor wilayah/dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi daripada atas dari keputusan mereka sendiri. Kepala sekolah harus kompeten dalam menjalankan tugas teknis manajerial, yang menurut Mintzberg (1973) terdiri atas tiga kategori yaitu: (1) interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin dan juru runding; (2) informational yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara; (3) decisional yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-handler, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.
Tugas-tugas yang diemban oleh kepala sekolah menuntutnya untuk memiliki keterampilan pada taraf tinggi dalam bidang konsep keadministrasian, kemampuan melakukan hubungan manusiawi dengan staf secara perseorangan dan kelompok serta dengan masyarakat, serta keterampilan teknis untuk menyelenggarakan tugas-tugas intruksional dan non-intruksional di sekolah. Pemahaman kepala sekolah mengenai proses kerja ini diperlukan menigngat substansi tugas atau area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah tidak mungkin dapat dijalankan secara efektif dan efisien, tanpa melalui prosedur yang benar dan pemerintah potensi yang benar pula.
Kemampuan dan keterampilan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dipandang belum memadai bagi terwujudnya maksud-maksud di atas sehingga pendidikan khusus ke kepala sekolahan bagi calon/kepala sekolah tingkat pendidikan dasar, seperti diamanatkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008, tampaknya perlu segera ditindaklajuti atau dioperasoinalisasikan di tingkat wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kepala sekolah dalam melaksanakan manajemen pendidikan di sekolah selayaknya minimal melaksanakan empat fungsi manajemen, baik dalam manajemen kurikulum, ketenagaan, kesiswaan, sarana prasarana maupun lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar