Kamis, Maret 22

Etika dan Moral dalam Pendidikan Jasmani

Etika dan Moral dalam Pendidikan Jasmani menuju Olahraga Prestasi

PEMBUKAAN

Salah satu masalah penting dalam kehidupan di tanah air ini adalah etika dan moral, pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan anak memberikan suatu pengayaan dalam etika dan moral di masyarakat. Mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh.Tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi.

PEMBAHASAN

Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan jasmani di Indonesia memiliki tujuan kepada keselarasan antara tubuhnya badan dan perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa indonesia yang sehat lahir dan batin, diberikan kepada segala jenis sekolah. (UU no 4 th 1950, ttg dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah bab IV pasal 9)
Pendidikan jasmani mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual.
Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki
1Johansyah Lubis, Adalah Dosen Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta. Dan Ketua Komisi Pembibitan dan pemanduan Bakat KONI Pusat 2007 - 2011
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 2
dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Piere de Coubertin)
Uraian di atas memperjelas bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu terus mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai manusia.
Pendidikan adalah segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk “kebolehan’. Dimensi sosial ini melibatkan hubungan antar orang, antar peserta didik sebagai sebagai fasilitator atau pengarah.
Kondisi saat ini ketika masyarakat Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, budaya bangsa yang luhur mulai telah terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak menghargai gurunya bahkan orang tuanya.
Fenomena dalam pendidikan jasmani saat ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena terkesan membosankan dan menjemukan.
Masalah moral di Amerika menjadi salah satu isu pendidikan yang diangkat dalam membentuk manusia Amerika, mengingat orang Amerika pernah terkejut pada awal 1985 ketika mereka mengetahui bahwa pemenang medali cabang balap sepeda pada Olimpiade yang berasal dari USA mengakui telah mendoping darah sebelum kompetisi. Ditambah lagi 86 atlet Amerika dari berbagai cabang gagal melewati tes obat-obatan yang diadakan oleh Komite Olahraga Amerika Serikat, sembilan bulan sebelum pertandingan pada tahun 1984. Belum lagi kasus kematian pelari Belanda di Universitas Amerika membawa pada penemuan secara tidak sengaja tentang penggunaan secaraEtika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 3 luas resep obat yang didapatkan secara ilegal oleh atlet mahasiswa, yang disuplai oleh pelatih kampus.
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan karakter. Pengajaran etika dalam pendidikan jasmani biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar tidak baik berkata kepada muridnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan muridnya secara adil.
Selain dari pada itu pendidikan jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi terlibat di dalamnya. Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik.
Pantas rasanya jika kita setuju untuk mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dasar atau alat pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan cognitif, afektif dan psikomotor yang behavior dalam membentuk kemampuan manusia yang berwatak dan bermoral.
Dalam tulisan ini akan lebih dibahas tentang etika dan permasalahan dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Dengan mencoba mengkomperkan dan menanalisis serta memyusun rekomendasi yang memungkinkan dalam pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga.
 Berdasarkan latar belakang di atas, agar paper ini lebih mengarah maka pembahasan akan lebih di fokuskan pada :
Bagaimana etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga?
Bagaimana pendidikan etika membentuk manusia secara utuh?
Masalah tersebut akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dari segi teori dan analisis penjasnya.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 4
 
Hakikat Etika
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan)
Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral.
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Dalam etika mengembangkan diri, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan diri, Melepaskan diri, menerima diri Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 5  Freeman menyebutkan bahwa etika terkait dengan moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk.
Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.

Hakikat Moral
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya.
Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 6 Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku.
Norma diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti : norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia. Namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot.
Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan “kantong kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 7
perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman.
Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.
 
Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral
Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :

1. Keadilan.
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 8
keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya.
Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman berupa tendangan bebas.

2. Kejujuran.
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan.
Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.

3. Tanggung Jawab.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.

4. Kedamaian
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 9
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila ada pelatih yang mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain?
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)
1. Keadilan dan Persamaan
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2. Respek terhadap diri sendiri
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.
4. Menghormati peraturan dan kewenangan
Pelajar dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi
5. Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 10
Beberapa pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a) seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam filosofi pendidikan kita?,c)Seberap penting suatu kemenangan dan d) apa yang menjadi integritas akademik kita?
Pendidik jasmani dalam proses pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter bagus menampilkan ; compassion (rasa belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship (ketangkasan) dan integritas.
Dengan adanya rasa belas kasih, murid dapat diberi semangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai, sama-sama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga melibatkan berusaha secara intens menuju sukses. Integritas memungkinkan seseorang untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh meskipun tindakannya negatif penerimannya oleh wasit, teman satu tim ataupun fans.
Hakikat Olahraga dan Penjas
Filsafat olahraga, seperti filsafat lainnya, dalam olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu ‘mental image’. Walau kita tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini.
Konsep dasar tentang keolahragaan beragam, seperti bermain (play), Pendidikan jasmani (Physical education), olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance).
Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa,
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 11
kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.
Dalam bermain pendidikan etika yang ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam hal religus dalam bentuk permainan, pendidikan etika disini yang membetuk manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih bersifat mengembangkan daya pikir kritis dengan mengamati realitas kehidupan.
Seperti melihat harimau, maka anak akan meniru gaya harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainnya. Temannya akan berjuang mempertahankan dengan bergelut.
Bermain dalam alam anak memberikan konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut. Ketika terjadi “perselisihan” maka tanggung jawab anak terhadap permainan ini membantu dalam pengembangan moralnya.
Olahraga (sport) yang merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya (performa) dan kemauannya semaksimal mungkin, akan tetapi perkembangan teknologi memungkinkan faktor mesin menjadi techno-sport, seperti balap mobil, balap motor, yang banyak tergantung dengan faktor mesin.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 12
Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara “body and mind”, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.

Pengajaran Etika dalam pendidikan jasmani
Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.
Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat yaitu :
1. Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendirii sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 13 kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek jual-beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku dsb)
2. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.
3. Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.
4. Secara kurikuler pendidikan nilai yang membentuk sikap dan perilaku positif juga bisa diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan pendidikan budi pekerti. Akan tetapi penulis tidak menyarankan untuk di lakukan.
5. Melalui pembinaan rohani siswa, melalui kegiatan pramuka, olahraga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi, teater, dll. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut para pembina melihat peluang dan kemampuannya menjalin komunikasi antar pribadi yang cukup mendalam dengan peserta didik.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 14
 
KESIMPULAN
Penulis mencoba merekomendasikan beberapa hal tentang pendidikan nilai dalam pendidikan jasmani berdasarkan latar belakang dan teori, diantaranya :
1. Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif.
2. Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral.
3. Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika.
4. Dalam permainan compassion, fairness, spormanship dan integritas sangat lekat didalamnya sehingga mampu memberikan konsep pendidikan etika di dalamnya.
5. Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.
6. Guru pendidikan jasmani dapat mengajarkan nilai dan etika diluar jam pelajaran, terutama saat ektra kurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu.
7. Membuat mata pelajaran tentang budi pekerti, tetapi hal ini perlu pembicaraan sesama seksama.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 15
 



DAFTAR PUSTAKA

Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.
_________________, (2000), Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru,
70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.
Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,
Australia: Printice hall.
Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat
Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.
Berdua Satutujuan.
Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:
Dirjeb Pend. Tinggi.
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing
society. Boston: Allyn & Bacon.
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education.
New York: Routledge.

Siap jadi Pemimpin Sekolah



STUDI PERAN KEPALA SEKOLAH DAN KOMITE SEKOLAH
Dengan adanya desentralisasi manajemen pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (MBS) peran kepala sekolah mulai berubah. Apalagi komite sekolah mulai berperan penting dalam pengelolaan sekolah. Konsultan kami Elizabeth Sweeting, Muhlisoh, Furaidah, dan Supriyono Koes dibantu teman-teman konsultan lainnya telah membuat studi tentang peran kepala sekolah dan komite sekolah, khususnya di sekolah yang sudah melaksanakan MBS dengan berhasil di daerah binaan MBE dan CLCC. Tujuannya adalah untuk menemukan kunci keberhasilan sekolah tersebut agar disebarluaskan ke sekolah-sekolah lain. Rangkuman kesimpulan studi tersebut dapat dibaca di bawah ini. Studi lengkap dapat dibaca di website kami mbeproject.net.

Studi 1: Peran Kepala Sekolah

Kepala sekolah mempunyai dua peran utama, pertama sebagai pemimpin institusi bagi para guru, dan kedua memberikan pimpinan dalam manajemen.

Pembaharuan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) dan komite sekolah yang diperkenalkan sebagai bagian dari desentralisasi memberikan kepada kepala sekolah kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan dengan lebih mantap berbagai fungsi dari kedua peran tsb.
Manajemen terbuka-menjadi transparan, akuntabel dan melibatkan banyak pihak dalam perencanaan, keuangan dan pengembangan program sekolah bersama sama dengan para guru dan masyarakat. Rencana sekolah dan RAPBS di pajangkan untuk dilihat semua pihak.
Banyak kepala sekolah yang dikunjungi selama studi, telah memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh SBM untuk menyesuaikan kinerjanya agar memenuhi situasi baru di sekolah dan di masyarakat, dan menerapkan perubahan-perubahan.

Mereka menyadari bahwa mereka harus lebih menjadi kolega dari pada atasan dari para guru dan bekerjasama lebih erat dengan para guru dan masyarakat dalam menangani permasalah-permasalah pendidikan.

Kerjasama penanganan masalah ini termasuk tugas pengelolaan penting, seperti: supervisi kelas untuk mendorong dan mendukung pelaksanaan PAKEM, memimpin pertemuan informal dengan para guru, untuk menstimulasi, berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai inovasi, menghargai dan mendukung hasil kerja dari komite sekolah untuk sekolah
Kepala sekolah melakukan supervisi kelas untuk mendorong dan mendukung pelaksanaan PAKEM. Dia duduk membantu anak belajar.
Beberapa perubahan kinerja kepala sekolah yang dilaporkan termasuk: (i) manajemen terbuka-menjadi transparan, akuntabel, dan melibatkan banyak pihak dalam perencanaan, keuangan dan pengembangan program sekolah bersama sama dengan para guru dan masyarakat; (ii) menciptakan dan mengelola suasana belajar yang ramah dan positif di sekolah; (iii) terbuka dan mendukung inovasi.

Di lain pihak, kepala sekolah lebih enggan dalam hal-hal lain, seperti mendelegasikan tanggung jawab pelaksanaan program sekolah kepada yang lain, mengunjungi dan memonitor guru kelas, atau memimpin rapat formal dengan komite dan orang tua murid lebih sering dari kebiasaan selama ini, yakni sebulan sekali, atau satu semester sekali.
Kepala sekolah mendorong guru untuk menciptakan dan mengelola suasana belajar yang ramah dan positif di sekolah
Beberapa kepala sekolah yang lebih berani, berada dalam tahap di mana mereka dan beberapa guru gurunya dapat mengembangkan inovasi mereka sendiri, sehingga menyebabkan guru dari sekolah lain beramai-ramai mengunjungi sekolah tsb dalam usaha mereka mencari gagasan gagasan baru. Kepala sekolah yang lebih progresif ini juga menggunakan berbagai strategi yang juga merupakan suatu inovasi untuk mendorong agar guru berinovasi, dan menularkan inovasi mereka ke guru lain di sekolah tsb.
Selain menemukan dana yang terbatas sebagai kendala untuk meningkatkan praktik, beberapa kepala sekolah, dengan bijak menemukan kebutuhan mereka sendiri untuk melakukan peningkatan diri.
Kepala sekolah medukung inovasi oleh guru. Dalam hal ini orang tua siswa membantu guru di kelas
Lebih lanjut, kepala sekolah yang lebih terbuka mengakui bahwa para guru mereka juga mengalami kendala untuk mengubah perilaku/kinerjanya di kelas daripada mengatakan bahwa guru mereka tidak responsif, melakukan usaha usaha positif, untuk membantu guru mengatasi ketakutan mereka.Kekhawatiran utama para kepala sekolah dan guru adalah belum tahu dampak penggunaan pendekatan PAKEM pada kinerja siswa Ujian Akhir Sekolah.

Sebagai simpulan, kepala sekolah nampak lebih nyaman melakukan peran pimpinan manajemen dari pada pimpinan pembelajaran. Beberapa kepala sekolah mempunyai persepsi mereka sendiri mengenai perannya lebih terfokus pada pimpinan institusi dan menganggap bahwa "mengajar adalah urusan guru".

Para guru dan anggota komite melihat peran kepala sekolah dalam hubungan dengan peran mereka sendiri di dalam sekolah. Dalam hal ini, para guru menfokuskan kebutuhan mereka untuk dipenuhi oleh kepala sekolah untuk tugas kelas mereka.

Sejalan dengan itu, anggota komite membuat daftar fungsi-fungsi itu sebagai bagian dari peran kepala sekolah dalam pertemuan komite, yakni: fasilitator, motivator, advisor, inisiator , mediator, dan partner.


MENDENGARKAN
Begitu Mama dan Totto masuk, seorang pria yang berada di dalam ruang itu berdiri dari kursinya. Orang itu rambutnya sudah menipis, gigi depannya sudah ompong tetapi raut mukanya ramah. Meskipun tingginya  tidak seberapa, bahu dan lengannya kekar. Ia mengenakan baju berwarna  gelap namun kesannya rapi.
Totto segera menyalaminya dan dengan riang bertanya, “Bapak, kepala  sekolah atau pegawai stasiun?”
Mama terburu-buru mencoba menjelaskan. Tetapi sebelum ia sempat  mengucapkan sesuatu, orang itu sudah mendahului menjawab sambil  tertawa, “Bapak adalah kepala sekolah.” Totto menyahut dengan nada gembira, “Wah untung! Kalau begitu saya  mau minta. Saya ingin masuk sekolah ini.” Kepala sekolah  mempersilakan Totto duduk. Lalu berpaling kepada Mama  dan berkata, “Saya perlu bicara dengan Totto. Jadi Ibu boleh pulang.” Sebentar saja Totto merasa cemas ditinggal sendirian. Tetapi entah  mengapa, segera saja ia merasa aman dan betah bersama Pak Kepala  Sekolah ini. Dengan sikap rela Mama berkata, “Kalau begitu, saya  titipkan anak saya. Terima kasih,” lalu keluar menutup pintu. Pak Kepala Sekolah menarik kursinya ke dekat Totto. Setelah duduk  berhadapan ia berkata, “Ayo, coba ceritakan apa saja kepada Bapak.  Semua, apa saja, yang ingin kau ceritakan kepada Bapak. Pokoknya,  boleh bicara apa saja.” Semula, Totto menduga harus menjawab apa yang ditanyakan Pak Kepala  Sekolah. Tapi setelah mendengar kalau ia boleh bercerita apa saja, ia  menjadi amat gembira dan mulai bercerita. Urutan kejadian serta  caranya berbicara kacau, tetapi ia bercerita dengan sungguh-sungguh.  Ia bercerita tentang bagaimana cepatnya kereta api yang baru saja  dinaiki. Tentang bagaimana ia tidak diberi karcis meskipun sudah  memintanya. Mengenai bu guru, wali kelasnya dulu yang cantik. Sarang  burung layang-layang di sekolahnya dulu. Di rumahnya ada anjing  coklat bernama Rocky yang kalau diperintah bisa berjabat tangan,  memberi salam dan merasa puas setelah diberi makan. Masa sekolah di  taman kanak-kanak dulu ketika ia suka main  gunting. Caranya  memasukkan dan memainkan gunting di dalam mulutnya meskipun guru  melarangnya dan kemudian mengambil gunting itu. Lalu tentang  bagaimana Mama marah kalau ia  mengisap-isap ingus yang keluar hidung  sehingga ia harus cepat-cepat membersihkannya. Tentang Papa  yang  pandai berenang di laut dan dapat melompat terjun ke laut. Totto menceritakan itu semua satu per satu. Pak Kepala Sekolah  mendengarkan sambil tertawa, mengangguk atau mendesak Totto untuk  melanjutkan ceritanya dengan berkata, “Terus bagaimana?” Hal itu membuat Totto senang dan ia berbicara  terus. Tapi akhirnya ia  kehabisan cerita. Karena Totto agak lama diam dan berpikir, Kepala  Sekolah bertanya, “Sudah tidak ada lagi?” Totto merasa benar-benar kehabisan cerita. Ia agak sedih. Pada waktu
merasa sedih itulah Kepala Sekolah berdiri dan meletakkan tangannya  yang besar dan hangat di atas kepala Totto. “Kalau begitu, sekarang  kau boleh menjadi murid sekolah ini.” Pada saat itu, rasanya Totto baru  pertama kali dalam seumur hidupnya  bertemu dengan orang yang menyenangkan seperti ini. Sejak lahir  sampai hari ini, belum pernah ada orang yang mau mendengarkan  ceritanya dalam waktu begitu lama.  Lagipula, selama waktu yang begitu  lama itu, Pak Kepala Sekolah tidak pernah menguap atau  memperlihatkan  sikap bosan. Ia asyik dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan cerita  Totto sambil  mendekatkan badannya. Pada waktu itu, Totto belum bisa  membaca jarum jam. Tetapi ia bisa merasakan  lamanya waktu bercerita.  Kalau saja bisa melihat jam, ia pasti akan terkejut dan lebih  berterima kasih lagi.  Sebabnya, Totto dan Mama tiba di Sekolah pukul  8, dan waktu Totto selesai bercerita serta diputuskan bisa diterima  sebagai murid di sekolah ini, Pak Kepala Sekolah melihat jam saku dan  berkata, “Oh, sudah waktunya makan siang.” Jadi, Kepala Sekolah telah mendengarkan cerita Totto selama empat jam  penuh. Belum pernah ada dan [kemudian] tidak pernah ada orang dewasa  yang mau mendengarkan cerita Totto dengan sesungguh hati kecuali  kepala sekolah ini. Selain itu, kalau Mama dan guru di sekolah dulu  tahu, pasti mereka akan terkejut mendengar Totto yang baru kelas satu  [SD] ini mempunyai begitu banyak cerita yang memerlukan empat jam  untuk diceritakannya sendiri.
Pada waktu itu Totto belum menyadari perihal ia dikeluarkan dari  sekolah [yang dulu] karena selalu  merepotkan dan menyusahkan orang-  orang dewasa di sekitarnya. Selain itu, karena dari dulu sifatnnya  periang dan pelupa, Totto kelihatan seperti anak yang polos. Tetapi  di dalam hati kecilnya, samar-samar ia dapat merasakan dirinya agak  dikucilkan atau berbeda dengan anak-anak lain [di sekolahnya yang  dulu]. Tetapi bersama kepala sekolah ini, ia merasa aman, hangat, dan  menyenangkan…

MEMPERCAYAI
Hari ini ia [Totto] pergi ke WC [Sekolah] sebelum mulai pelajaran dan  secara tidak sadar ia telah melihat ke bawah. Pada saat itu, mungkin  karena cara menyimpannya tidak tepat, dompet kesayangannya jatuh ke
bawah. Totto menjerit. “Aah…!!” Tetapi dompet itu telah hilang di  lubang gelap di bawah. Namun apa yang dilakukannya kemudian? Totto  tidak menangis dan juga tidak putus asa. Ia berlari pergi ke gudang  milik Pesuruh [Sekolah] lalu mengambil sebuah gayung yang panjang  gagangnya hampir dua kali panjang badan Totto dan membawanya ke WC.  Totto pergi ke belakang gedung sekolah dan di sana ia mencari gorong-
gorong tempat pengambilan tinja WC itu. Mula-mula ia berpikir tempat  itu ada di luar tembok WC, tetapi ternyata tidak ditemukan. Setelah  mencari-cari, akhirnya ia menemukan sebuah tutup semen bundar di atas
tanah, kira-kira satu meter dari tembok tersebut. Ia menerka itulah  tempat pengambilan tinja yang dicarinya!
Selanjutnya Totto memulai pekerjaan besar, memasukkan gayung ke dalam  dan menimba isinya. … Tentu saja setiap kali menimba ia memeriksa  isinya kalau-kalau ada dompet tersangkut. Ia memperkirakan akan
segera dapat menemukannya kembali. Tetapi entah hilang ke mana dompet  itu karena tidak kunjung ditemukan di dalam gayung. Sementara itu,  bel tanda pelajaran dimulai sudah terdengar. … Namun akhirnya ia  memutuskan meneruskan pekerjaan itu karena ia berpikir, “Tanggung!
Aku sudah terlanjur melakukannya sampai sini.” Sebagai gantinya, ia  menimba lebih giat lagi. Setelah gunungan menumpuk, Kepala Sekolah  kebetulan lewat di jalan belakang WC itu. Ketika melihat apa yang
dilakukan Totto, ia heran. “Kau sedang apa di sini nak?”
Totto menjawab sambil terus mengayunkan gayung karena ia sayang waktu  kalau harus berhenti bekerja.
“Dompet saya terjatuh Pak.”
“Oh, begitu.” Setelah berkata demikian, Kepala Sekolah terus  meninggalkannya pergi dan berjalan sambil menyimpan tangan di  belakang tubuh seperti yang biasa dilakukannya pada waktu jalan-jalan.
Beberapa waktu kemudian, dompetnya belum juga ditemukan, sedangkan  tumpukan itu terus menggunung. Lalu Kepala Sekolah lewat lagi dan  bertanya, “Sudah ketemu?”
Totto yang bermandi keringat dengan pipi yang menumpuk  berkata, “Tidak ada.”
Kepala Sekolah mendekatkan wajahnya ke wajah Totto, lalu berkata  dengan nada suara seperti seorang teman, “Nanti kalau sudah selesai,  kembalikan semua itu ke tempatnya ya?” dan pergi berjalan entah ke
mana seperti tadi.
Totto menjawab “Ya,” dengan bersemangat dan mulai bekerja  kembali. … Namun sampai saat terakhir, dompet yang dicari belum  juga ditemukan. Mungkin karena dompet itu melekat di dinding atau  dasar kolam. Walaupun tanpa hasil, Totto merasa cukup puas, karena  telah mencoba melakukan pekerjaan yang begitu berat dengan tenaga  sendiri. Tetapi sebetulnya dalam kepuasan Totto masih ada unsur lain.
Kepala Sekolah tidak marah melihat perbuatannya, tetapi mempercayai  dan memperlakukannya sebagai seseorang yang memiliki kepribadian.
Biasanya orang dewasa yang mendapatkan Totto sedang mengerjakan hal  semacam itu pasti akan berkata … “awas, hentikan itu!” Mungkin juga  ada yang menawarkan diri “Mau nggak kalau dibantu Bapak?” Tetapi  Kepala Sekolah hanya berkata, “Nanti kembalikan lagi ke tempatnya,  ya?”
Sesuai dengan janjinya terhadap Kepala Sekolah, Totto meratakan  tumpukan itu dengan mengembalikannya ke WC yang semula, meratakan  tanahnya, meletakkan tutup dari semen dengan rapi dan terakhir  mengembalikan gayung itu ke gudang.
MENDORONG BICARA
Kepala Sekolah pernah berharap, “Kalian harus lebih pandai bercerita.  Bagaimana kalau pada setiap jam makan siang secara bergilir seorang  di antara kalian menceritakan sesuatu di tengah lingkaran?”
Setiap anak berpikir “Saya tidak pandai bercerita, tapi senang  mendengarkan cerita orang lain” atau “wah, saya suka sekali bercerita  kepada teman-teman”. Totto sendiri berpikir, “Aku belum tahu cerita  apa yang akan kusampaikan, tapi aku akan mencobanya.” Dengan demikian, karena rata-rata semua murid menyetujui gagasan  Kepala Sekolah, sejak esok harinya dimulai acara bercerita. Di Jepang biasanya di rumah anak-anak selalu diajar, “Waktu makan  tidak boleh bicara.” Tapi berdasarkan pengalaman Kepala Sekolah  sendiri sewaktu hidup di luar negeri, sudah lama ia  berpendapat, “Acara makan sedapat-dapatnya harus menyenangkan. Karena  itu, pada waktu makan siang jangan tergesa-gesa. Tetapi makan pelan-
pelan, bahkan boleh makan sambil berbicara macam-macam.” Selain itu,  ia juga berpendapat, “Bagi anak-anak, mulai sekarang diperlukan  kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri secara jelas dan  bebas tanpa rasa malu-malu.” Jadi diputuskan sudah saatnya dimulai  acara seperti itu.
“Ingat, ya! Tidak usah berpikir harus bercerita dengan pandai.  Ceritanya pun terserah semau kalian saja. Apa saja boleh. Pokoknya  kita akan mencobanya.” Tetapi berbeda dengan bercerita di dalam kelompok kecil sekitar 3  orang pada jam istirahat, berbicara di tengah seluruh murid sekolah  sebanyak 50 orang memerlukan suatu keberanian tersendiri dan  merupakan hal yang sulit. Pada permulaan acara ini ada anak yang malu  dan hanya tertawa “Ihi-ihi-ihi-ihi” atau ada pula anak yang telah  menyiapkan cerita dengan sungguh-sungguh, tapi setelah berada di  depan murid-murid lain tiba-tiba lupa ceritanya dan hanya beberapa  kali mengulangi kata “Kodok yang melompat ke samping” yang agaknya  judul cerita itu. Dan akhirnya berkata, “Setelah hujan turun,  selesai” lalu memberi salam dengan menundukkan kepala dan kembali ke  kursi.
Dengan demikian berangsur-angsur terbentuk kebiasaan berbicara di  depan secara bergilir setiap hari. Pada suatu hari seorang anak yang  mendapat giliran bersikeras untuk tidak bicara. Anak laki-laki itu  berkata, “Saya tak punya cerita apa-apa!” Totto sangat terkejut ada anak yang tidak mempunyai cerita. Namun  bagaimanapun juga anak itu tidak mempunyainya. Kepala Sekolah datang  ke depan meja anak tersebut yang di atasnya terletak tempat bekal  makan anak itu yang ternyata kosong. “Kau tidak punya cerita?”
“Ya, saya tidak punya cerita apa-apa!”, demikian kata anak itu.  Rupanya ia sama sekali bukan melawan atau menentang, tetapi betul-  betul tidak punya cerita.
“Ha-ha-ha-ha,” Kepala Sekolah tertawa tanpa menghiraukan giginya yang  ompong.
“Kalau begitu, kita bikin saja!” “Bikin?” Anak itu terkejut.
Kepala Sekolah kemudian menyuruhnya berdiri di tengah lingkaran anak-  anak yang sedang duduk dan dia sendiri duduk di kursi anak itu.
“Coba ingat kembali kejadian-kejadian sejak kau bangun tidur tadi  pagi sampai tiba di sekolah. Pertama kau lakukan apa?”
Anak laki-laki itu sambil menggaruk-garuk kepalanya mulai  bersuara “Eeeh.”
Lantas Kepala Sekolah menyambung “Lihat, kau sudah berkata ‘Eeeh.’
Telah ada ceritanya, kan? Setelah ‘Eeeh’ terus bagaimana?”
Sambil menggaruk kepalanya lagi anak itu menyahut “Eeh, saya bangun  pada pagi hari.”
Totto dan murid-murid lainnya ingin tertawa, tapi mereka tetap  memperhatikannya. Kemudian anak itu berkata, “Laluuu…” dan  menggaruk kepalanya lagi. Kepala Sekolah sejak tadi terus menatap  sikap anak itu sambil tersenyum dengan melipatkan tangan di atas meja.
“Boleh, itu sudah baik. Teman-teman sudah bisa mengetahui bahwa kau  bangun tidur tadi pagi. Yang penting, kau tadi berkata, ‘Tidak punya  cerita,’ tetapi sekarang sudah mendapatkan cerita.”
Lantas anak itu berkata dengan suara yang sangat lantang, “Laluuu…”
Teman-teman semuanya memajukan badan. Anak itu menghirup udara dalam-  dalam, dan berkata, “Laluuu, ibuku menyuruh menggosok gigi. Jadi aku  menggosok gigi.”
Kepala Sekolah bertepuk tangan. Murid lain segera mengikutinya.  Setelah itu ia berkata dengan suara yang lebih keras, “Laluuu…”
Semuanya berhenti bertepuk tangan, menajamkan pendengaran dan lebih  memajukan badan lagi. Muka anak itu seolah bangga dan dia  berkata, “Lalu saya datang ke sekolah!”
Di antara murid kelas atas yang memajukan badan ada yang terperosok  dan kepalanya terbentur pada tempat bekal makan. Tapi semua orang  menjadi sangat gembira, “anak itu bisa bercerita!”
Kepala Sekolah bertepuk tangan keras-keras. Totto dan kawan-kawan  bertepuk tangan riuh. Anak itu pun bersama-sama bertepuk tangan. Aula  penuh dengan tepuk tangan. Barangkali sampai anak tersebut dewasa ia  tidak akan bisa melupakan tepuk tangan itu.

 

Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru

KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH

Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
  1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
  2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
  3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
  1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
  2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
  3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
  4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
  1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
  2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
  3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
  4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
  5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Sumber Bacaan :
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK & SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya
———–. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University.
Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).
National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions. NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.

Kepala Sekolah Profesional

google ads
Kepala sekolah yang profesional diperlukan persyaratan-persyaratan khusus. Sanusi dkk. (1991) (Danim, 2002) mengemukakan beberapa kemampuan profesinal yang harus ditunjukkan oleh kepala sekolah, yaitu:
(a) kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya selaku unit kehadiran murid; (b) kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis pada kedudukan dari jenis ini; (c) kemampuan untuk memotivasi para bawahan untuk bekerja sama secara sukarela dalam mencapai maksud-maksud unit dan organisasi; (c) kemampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari perubahan sosial, ekonomis, politik dan educational, arti yang mereka sumbangkan kepada unit, untuk memulai dan memimpin perubahan-perubahan yang cocok di dalam unit didasarkan atas perubahan-perubahan sosial yang luas.

Persyaratan profesi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah seperti disebutkan di atas, juga harus mampu mengakomodasikan tiga jenis keterampilan yang baik secara per jenis maupun terintegrasi tercermin dalam keseluruhan mekanisme kerja administrasi sekolah sebagai proses sosial. Tiga keterampilan tersebut menurut Katz (1995) seperti dikutip oleh Sergiovanni dkk. (1987) meliputi: (1) keterampilan teknis (technical skill); (2) keterampilan melakukan hubungan-hubungan kemanusiaan (human skill); (3) keterampilan konseptual (conceptual skill).
Kemampuan profesional kepala sekolah tingkat pendidikan dasar pada akhirnya sangat ditentukan kapasitasnya melakukan tugas-tugas administratif dengan proses kerja menurut prosedur administrasi yang benar. Inti kerja kepala sekolah adalah mengelola tugas-tugas administratif melalui proses yang tepat sehingga tugas-tugas tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Barnard, 1978). Efektivitas menurut Barnard (1978) mengacu pada hasil kerja yang diperoleh sedangkan efisien mengacu pada proses kerja untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Tugas-tugas operatif administrasi pendidikan di sekolah dapat dipilah menjadi area tugas kritis. Southern States Cooperative Program in Educational Administration, seperti dikutuip oleh Kimbrought & Nunnery (1983) dan Sergiovanni dkk. (1978) mengemukakan area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah sebagai berikut:
A comprehensive study of the task areas of educational administration was completed as a part of the W.K. Kellog-sponsored Southern States Cooperative Program in educational administration. The critical task areas included in this taxonomy were as follows: (1) instructions and curriculum development; (2) pupil personel; (3) comunity-school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school transportation; (7) organization and structure, and (8) school finance and business management.

Kepala sekolah lebih cenderung bekerja atas dasar juklak dan juknis yang mereka terima dari kantor pusat di Jakarta atau di kantor wilayah/dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi daripada atas dari keputusan mereka sendiri. Kepala sekolah harus kompeten dalam menjalankan tugas teknis manajerial, yang menurut Mintzberg (1973) terdiri atas tiga kategori yaitu: (1) interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin dan juru runding; (2) informational yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara; (3) decisional yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, disturbance-handler, pengalokasi sumber-sumber, dan negosiator.
Tugas-tugas yang diemban oleh kepala sekolah menuntutnya untuk memiliki keterampilan pada taraf tinggi dalam bidang konsep keadministrasian, kemampuan melakukan hubungan manusiawi dengan staf secara perseorangan dan kelompok serta dengan masyarakat, serta keterampilan teknis untuk menyelenggarakan tugas-tugas intruksional dan non-intruksional di sekolah. Pemahaman kepala sekolah mengenai proses kerja ini diperlukan menigngat substansi tugas atau area tugas kritis administrasi pendidikan di sekolah tidak mungkin dapat dijalankan secara efektif dan efisien, tanpa melalui prosedur yang benar dan pemerintah potensi yang benar pula.
Kemampuan dan keterampilan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dipandang belum memadai bagi terwujudnya maksud-maksud di atas sehingga pendidikan khusus ke kepala sekolahan bagi calon/kepala sekolah tingkat pendidikan dasar, seperti diamanatkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008, tampaknya perlu segera ditindaklajuti atau dioperasoinalisasikan di tingkat wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kepala sekolah dalam melaksanakan manajemen pendidikan di sekolah selayaknya minimal melaksanakan empat fungsi manajemen, baik dalam manajemen kurikulum, ketenagaan, kesiswaan, sarana prasarana maupun lainnya.

EVALUASI PEND.JASMANI


PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASAMANI


a. Evaluasi Belajar Penjas

 Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran dan testing.
Ralph W. Tyler, yang dikutif oleh Brinkerhoff dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda. Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Demikian juga dengan Michael Scriven (1969) menyatakan evaluation is an observed value compared to some standard. Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.
Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Arikunto menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is limited to quantitative descriptions of pupil behavior
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik , Sedang, Jelek. Seperti juga halnya yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967) “The assignment of one or a set of numbers to each of a set of person or objects according to certain established rules

B. Tujuan Evaluasi
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa evaluasi dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Khusus terkait dengan pembelajaran, evaluasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa.
2. mengetahui tingkat keberhasilan PBM
3. menentukan tindak lanjut hasil penilaian
4. memberikan pertanggung jawaban (accountability)

C. Fungsi Evaluasi
Sejalan dengan tujuan evaluasi di atas, evaluasi yang dilakukan juga memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi:
1. Selektif
2. Diagnostik
3. Penempatan
4. Pengukur keberhasilan
Selain keempat fungsi di atas Asmawi Zainul dan Noehi Nasution menyatakan masih ada fungsi-fungsi lain dari evaluasi pembelajaran, yaitu fungsi:
1. Remedial
2. Umpan balik
3. Memotivasi dan membimbing anak
4. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
5. Pengembangan ilmu

D. Manfaat Evaluasi
Secara umum manfaat yang dapat diambil dari kegiatan evaluasi dalam pembelajaran, yaitu :
1. Memahami sesuatu : mahasiswa (entry behavior, motivasi, dll), sarana dan prasarana, dan kondisi dosen
2. Membuat keputusan : kelanjutan program, penanganan “masalah”, dll
3. Meningkatkan kualitas PBM : komponen-komponen PBM
Sementara secara lebih khusus evaluasi akan memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran, seperti siswa, guru, dan kepala sekolah.
Bagi  Siswa
Mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran : Memuaskan atau tidak memuaskan
Bagi Guru
1. mendeteksi siswa yang telah dan belum menguasai tujuan : melanjutkan, remedial atau pengayaan
2. ketepatan materi yang diberikan : jenis, lingkup, tingkat kesulitan, dll.
3. ketepatan metode yang digunakan
Bagi Sekolah
1. hasil belajar cermin kualitas sekolah
2. membuat program sekolah
3. pemenuhan standar

E. Macam-macam Evaluasi
1. Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan / topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Sementara Tesmer menyatakan formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for purpose of revising the instruction to improve its effectiveness and appeal. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengontrol sampai seberapa jauh siswa telah menguasai materi yang diajarkan pada pokok bahasan tersebut. Wiersma menyatakan formative testing is done to monitor student progress over period of time. Ukuran keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan (TIK) yang telah ditetapkan sebelumnya. TIK yang akan dicapai pada setiap pembahasan suatu pokok bahasan, dirumuskan dengan mengacu pada tingkat kematangan siswa. Artinya TIK dirumuskan dengan memperhatikan kemampuan awal anak dan tingkat kesulitan yang wajar yang diperkiran masih sangat mungkin dijangkau/ dikuasai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Dengan kata lain evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat. Tindak lanjut dari evaluasi ini adalah bagi para siswa yang belum berhasil maka akan diberikan remedial, yaitu bantuan khusus yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami suatu pokok bahasan tertentu. Sementara bagi siswa yang telah berhasil akan melanjutkan pada topik berikutnya, bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih akan diberikan pengayaan, yaitu materi tambahan yang sifatnya perluasan dan pendalaman dari topik yang telah dibahas.
2. Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi.
3. Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai oleh siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya.
Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif
Ditinjau dari
Tes Diagnostik
Tes Formatif
Tes Sumatif
Fungsinya
mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya

menentukan kesulitan belajar yang dialami
Umpan balik bagi siswa, guru maupun program untuk menilai pelaksanaan suatu unit program
Memberi tanda telah mengikuti suatu program, dan menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan anggota kelompoknya
cara memilih tujuan yang dievaluasi
memilih tiap-tiap keterampilan prasarat

memilih tujuan setiap program pembelajaran secara berimbang
memilih yang berhubungan dengan tingkah laku fisik, mental dan perasaan
Mengukur semua tujuan instruksional khusus
Mengukur tujuan instruksional umum
Skoring (cara menyekor)
menggunakan standar mutlak dan relatif
menggunakan standar mutlak
menggunakan standar relatif

F. Prinsip Evaluasi
Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi, agar mendapat informasi yang akurat, diantaranya:
1. Dirancang secara jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian. à patokan : Kurikulum/silabi.
2. Penilaian hasil belajar menjadi bagian integral dalam proses belajar mengajar.
3. Agar hasil penilaian obyektif, gunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif.
4. Hasilnya hendaknya diikuti tindak lanjut.
Prinsip lain yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto adalah:
1. Penilaian hendaknya didasarkan pada hasil pengukuran yang komprehensif.
2. Harus dibedakan antara penskoran (scoring) dengan penilaian (grading)
3. Hendaknya disadari betul tujuan penggunaan pendekatan penilaian (PAP dan PAN)
4. Penilaian hendaknya merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar.
5. Penilaian harus bersifat komparabel.
6. Sistem penilaian yang digunakan hendaknya jelas bagi siswa dan guru.

G. Pendekatan Evaluasi
Ada dua jenis pendekatan penilaian yang dapat digunakan untuk menafsirkan sekor menjadi nilai. Kedua pendekatan ini memiliki tujuan, proses, standar dan juga akan menghasilkan nilai yang berbeda. Karena itulah pemilihan dengan tepat pendekatan yang akan digunakan menjadi penting. Kedua pendekatan itu adalah Pendekatan Acuan Norma (PAN) dan Pendekatan Acuan Patokan (PAP).
Sejalan dengan uraian di atas, Glaser (1963) yang dikutip oleh W. James Popham menyatakan bahwa terdapat dua strategi pengukuran yang mengarah pada dua perbedaan tujuan substansial, yaitu pengukuran acuan norma (NRM) yang berusaha menetapkan status relatif, dan pengukuran acuan kriteria (CRM) yang berusaha menetapkan status absolut. Sejalan dengan pendapat Glaser, Wiersma menyatakan norm-referenced interpretation is a relative interpretation based on an individual’s position with respect to some group. Glaser menggunakan konsep pengukuran acuan norma (Norm Reference Measurement / NRM) untuk menggambarkan tes prestasi siswa dengan menekankan pada tingkat ketajaman suatu pemahaman relatif siswa. Sedangkan untuk mengukur tes yang mengidentifikasi ketuntasan / ketidaktuntasan absolut siswa atas perilaku spesifik, menggunakan konsep pengukuran acuan kriteria (Criterion Reference Measurement).
1. Penilaian Acuan Patokan (PAP), Criterion Reference Test (CRT)
Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Joesmani menyebutnya dengan didasarkan pada kriteria atau standard khusus. Dimaksudkan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang performan peserta tes dengan tanpa memperhatikan bagaimana performan tersebut dibandingkan dengan performan yang lain. Dengan kata lain tes acuan kriteria digunakan untuk menyeleksi (secara pasti) status individual berkenaan dengan (mengenai) domain perilaku yang ditetapkan / dirumuskan dengan baik.
Pada pendekatan acuan patokan, standar performan yang digunakan adalah standar absolut. Semiawan menyebutnya sebagai standar mutu yang mutlak. Criterion-referenced interpretation is an absolut rather than relative interpetation, referenced to a defined body of learner behaviors. Dalam standar ini penentuan tingkatan (grade) didasarkan pada sekor-sekor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk persentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa harus mendapatkan sekor tertentu sesuai dengan batas yang telah ditetapkan tanpa terpengaruh oleh performan (sekor) yang diperoleh siswa lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan standar absolut adalah sekor siswa bergantung pada tingkat kesulitan tes yang mereka terima. Artinya apabila tes yang diterima siswa mudah akan sangat mungkin para siswa mendapatkan nilai A atau B, dan sebaliknya apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan, maka kemungkinan untuk mendapat nilai A atau B menjadi sangat kecil. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperhatikan secara ketat tujuan yang akan diukur tingkat pencapaiannya.
Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan PAP, maka terlebih dahulu ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan. Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor berikut:
Rentang Skor Nilai
80% s.d. 100% A
70% s.d. 79% B
60% s.d. 69% C
45% s.d. 59% D
< 44% E / Tidak lulus
2. Penilaian Acuan Norma (PAN), Norm Reference Test (NRT)
Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performans kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Tes acuan kriteria Perbedaan lain yang mendasar antara pendekatan acuan norma dan pendekatan acuan patokan adalah pada standar performan yang digunakan.
Pada pendekatan acuan norma standar performan yang digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya; Tinggi rendahnya performan seorang siswa sangat bergantung pada kondisi performan kelompoknya. Dengan kata lain standar pengukuran yang digunakan ialah norma kelompok. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan sekor (performan) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif diantaranya adalah (1) dianggap tidak adil, karena bagi mereka yang berada di kelas yang memiliki sekor yang tinggi, harus berusaha mendapatkan sekor yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai A atau B. Situasi seperti ini menjadi baik bagi motivasi beberapa siswa. (2) standar relatif membuat terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara para siswa, karena pada saat seorang atau sekelompok siswa mendapat nilai A akan mengurangi kesempatan pada yang lain untuk mendapatkannya.
Contoh:
7. Satu kelompok peserta tes terdiri dari 9 orang mendapat skor mentah:
50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, 30
Dengan menggunakan pendekatan PAN, maka peserta tes yang mendapat skor tertinggi (50) akan mendapat nilai tertinggi, misalnya 10, sedangkan mereka yang mendapat skor di bawahnya akan mendapat nilai secara proporsional, yaitu 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6
Penentuan nilai dengan skor di atas dapat juga dihitung terlebih dahulu persentase jawaban benar. Kemudian kepada persentase tertinggi diberikan nilai tertinggi.
8. Sekelompok mahasiswa terdiri dari 40 orang dalam satu ujian mendapat nilai mentah sebagai berikut:
55 43 39 38 37 35 34 32
52 43 40 37 36 35 34 30
49 43 40 37 36 35 34 28
48 42 40 37 35 34 33 22
46 39 38 37 36 34 32 21
Penyebaran skor tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
No
Skor Mentah
Jumlah Mahasiswa
Jika 55 diberi nilai 10 maka
1
55
1
10,0
2
52
1
9,5
3
49
1
9,0
4
48
1
8,7
5
46
1
8,4
6
43
3
7,8
7
42
1
7,6
8
40
3
7,3
9
39
2
7,1
10
38
2
6,9
11
37
5
6,7
12
36
4
6,5
13
35
3
6,4
14
34
4
6,2
15
33
2
6,0
16
32
2
5,8
17
30
1
5,5
18
28
1
5,1
19
22
1
4,0
20
21
1
3,8
Jumlah Mahasiswa
40
Jika skor mentah yang paling tinggi (55) diberi nilai 10 maka nilai untuk :
52 adalah (52/55) x 10 = 9,5
49 adalah (49/55) x 10 = 9,0 dan seterusnya
9. Bila jumlah pesertanya ratusan, maka untuk memberi nilainya menggunakan statistik sederhana untuk menentukan besarnya skor rata-rata kelompok dan simpangan baku kelompok (mean dan standard deviation) sehingga akan terjadi penyebaran kemampuan menurut kurva normal.
Menurut distribusi kurva normal, sekelompok mahasiswa yang memiliki skor di atas rata-rata 60 dalam kelompok itu adalah:
60 sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 + 1 S.B.) sampai dengan (60 + 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 + 2 S.B.) sampai dengan (60 + 3 S.B.) adalah 2,14%
Begitu juga dengan mahasiswa yang memiliki skor 60 ke bawah, adalah:
60 sampai dengan (60 – 2 S.B.) adalah 34,13%
(60 – 1 S.B.) sampai dengan (60 – 2 S.B.) adalah 13,59%
(60 – 2 S.B.) sampai dengan (60 – 3 S.B.) adalah 2,14%
Dengan kata lain mahasiswa yang mendapat skor antara (+1 S.B. s.d. -1 S.B.) adalah 68,26%, yang mendapat skor (+2 S.B. s.d. -2 S.B.) adalah 95,44%.
Dengan demikian dapat dibuat tabel konversi skor mentah ke dalam nilai 1-10.
Skor Mentah
Nilai 1 – 10
Skor rata-rata +2,25 S.B.

Skor rata-rata +1,75 S.B.
Skor rata-rata +1,25 S.B.
Skor rata-rata +0,75 S.B.
Skor rata-rata +0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,25 S.B.
Skor rata-rata -0,75 S.B.
Skor rata-rata -1,25 S.B.
Skor rata-rata -1,75 S.B.
Skor rata-rata -2,25 S.B.
10

9
8
7
6
5
4
3
2
1
Catatan: mengacu pada kurikulum 1975
(Sumber : Prof. Nana Sudjana)